Kamis, 14 Agustus 2014

Dear You Part 1



Derai tawa bergemuruh menggema di antara rerimbunan rumput liar yang tampak subur. Sepi tak berarti bahwa tiada kebahagiaan disana. Bersamamu, semua terasa menyenangkan. Taukah kamu, dalam angganku saat ini, tempat ini akan mempunyai banyak arti untukku, bersamamu.
Kutatap lekat dirimu yang masih menatap lurus kearah rerimbunan rumput kecil. Helaan nafasmu masih terdengar jelas ditelingaku. Aku tersenyum simpul saat melihatmu beberapa kali menggosokkan kedua tangan untuk menghilangkan dingin yang menyergap. Tampaklah lapangan ini sangat sepi, tiada penggembala. 
Tak terasa sudah 2 jam kita disini. Lukisan awan di atas langit itu seperti potret keceriaan. Keceriaan hatiku saat ini. Aku masih bercerita panjang lebar, dengan balasan tawa renyah darimu. Rasa-rasanya suaraku habis, entah sudah berapa ribu cerita yang kudengarkan untukmu.
“Aku emang punya banyak sodara dari mama. Tapi aku gak kenal mereka” dengungku sepintas lalu
“Kok gitu” tampak keheranan terlukis jelas di dahimu
Iyalah, khan kebanyakan ada di Jakarta sama di Bandung, sedangkan aku gak pernah kesana. Dulu sih pernah tapi sekarang udah enggak. Apalagi pas nini’ uda gak ada. Komunikasi jadi putus” sahutku panjang lebar sambil membalas tatapanmu
“Oh, aku juga ada sih sodara di Jakarta. Biasanya aku kesana kalo lagi liburan”
“Cerita dong masa-masa SD mu gimana. Aku daritadi udah cerita. Sekarang gantian dong”
“Emmm, apa ya?”                                                                               
“Terserah.”
Di antara cerita-cerita panjang itu, kuselangi dengan cubitan kecil yang mendarat sukses dipahanya. Latif, seorang yang saat ini duduk bersamaku disini, seorang yang sangat aku sayang dan bahkan aku tak mengetahui sampai kapan harus kusembunyikan rasa cinta yang masih melekat dihatiku.
Sepintas lalu kupinjam handphonenya. Kubuka gallery miliknya. Tampak foto dia bersama adiknya, Nesya. Lucu, aku tersenyum melihatnya.

            Kutatap dia dengan seluruh perasaan yang ada dihatiku. Tanpa kusadari ternyata dia membalas tatapan mataku. Letak dudukku memang tak begitu jauh darinya. Dan bahkan kalaupun ingin kusandarkan kepalaku dibahunya, itu bisa saja kulakukan. Tapi rasa-rasanya perlu berulang kali pemikiran untuk kulakukan.
“Disini ada bangunan kuno jaman Belanda lho, disebelah utara”   
“Mau dong kapan-kapan di ajak kesana”
“Iya kapan-kapan pasti kuajak” jawabnya dengan pasti
Aku tersenyum riang, kulihat wajah itu sekali lagi. Wajah yang membuat hatiku selalu teduh.

 *Flashback*
              Sepertinya kamar ini butuh tata ulang deh, sudah banyak barang yang harus kusisihkan” gumamku melihat ke sekeliling kamar. Rasanya sudah bosan melihat banyak tumpukan buku disudut ruang.
“Dina cepat ke ruang makan sayang, cepetan. Udah ditunggu ini” mama memanggilku dari luar. Bergegas aku meninggalkan kamarku. Kupercepat langkahku menuruni anak tangga. Sampai di ruang makan, kulihat mama, ayah dan kakakku sudah menungguku sendari tadi.
“Lama banget sih kamu, ngapain aja dikamar? Udah laper nih” omel kakakku
Kak Nura, kakakku satu-satunya ini memang cerewet sekali padaku. Setiap hal kecil akan selalu dikomentarinya. Walaupun begitu, kutau dia sangat menyayangiku. Dibuktikan dengan ketelatenannya menjagaku saat mama dan ayah diluar kota.
“Iya kak, bawel banget sih. Selamat makan” kulukis wajah ceria
“Din, apa rencanamu untuk mengisi liburan semester nanti?” ayah bertanya sambil menyuap nasi
“Aku pengen ke Malang aja yah. Kerumah tante Anisa”
“Oh, selain itu ada lagi?”
Aku heran. Tidak seperti biasanya ayah bertanya tentang rencana liburanku jauh-jauh hari. “Enggak yah, Cuma itu. Kenapa ya yah?” aku penasaran sekali
“Ayahmu ingin mengkursuskan kamu bahasa inggris. Itu lho sayang. Di kampung inggris”
Kutengok mama dengan wajah heran. “Apa? Kursus di kampung inggris?”
“Iya sayang, disana kamu bisa belajar banyak”
“Yang di Pare itu ya ma? Aku kesana sama siapa? Sendirian gitu? Gak mau ah ma” kutolak rencana untuk kursus itu
“Sama kak Nura. Kak Nura akan kursus disana sementara waktu. Kamu ingat kan, sebentar lagi kak Nura akan melamar kerja.”
Aku menyengitkan dahi, “terus kenapa aku harus ikut juga yah? Gak mau ah”
Tetap kutolak rencana kursus ke Pare.
“Sayang, disana kamu bisa menimba ilmu. Bareng kakakmu. Kamu inget kan satu tahun lagi kamu akan masuk Universitas. Kamu jangan malu-maluin ayah gara-gara gak fasih bahasa inggris” nada ayahku mulai naik dua oktaf
“Tapi yah...” belum sempat aku meneruskan penolakanku, mama sudah memotong ucapanku. “Sudahlah Dina. Coba saja dulu. Toh itu juga bukan hal yang merugikan”
Aku sudah kehabisan kata-kata untuk menolak. Dan akhirnya akupun menyerah. Dapat dipastikan setelah pulang dari rumah tante Anisa, aku akan menghabiskan liburanku di Pare. Ditempat yang belum pernah kudatangi. 
***
Sore ini aku disibukkan dengan menata ulang kamar. Aku ingin mengubah tata letak kamarku. Tiba-tiba mataku tertegun melihat tumpukan buku harian, aku tertarik untuk membaca salah satu dari buku harian lama itu. Aku memilih untuk mengambil buku biru dengan relief boneka teddy. Kuletakkan buku itu di atas ranjang. Sambil membereskan barang-barang lainnya sekilas mataku melirik buku biru itu. Setelah pekerjaan rampung, buru-buru aku mandi. Rasanya badanku sudah lengket dengan keringat.
Seusai makan malam, aku lebih memilih untuk berada di kamar. Kamar yang sudah kuubah penampilannya ini terasa lebih funny. Kuedarkan pandanganku keseluruh ruangan. Aku tersenyum puas, semua sudah tampak rapi. Kulihat disampingku, tergeletak buku harian yang kusisihkan sore tadi. Sambil menata letak dudukku agar nyaman, kubuka perlahan buku usang ini. Buku yang dulu selalu setia menjadi tempat curahan hatiku. Aku tersenyum simpul saat membaca halaman pertama. Tampak sebuah kalimat motivasi terangkai. “Hidup ini menyenangkan. Dengan mensyukuri segala pemberian-Nya. Hidup ini harus penuh syukur. Sungguh, kelak kubutuh mengingat semua cerita ini. Dan karenanya aku berjanji akan selalu kutulis semua kejadian dalam perjalanan hidupku. Memori itu indah, memori itu menyenangkan dan tak harus dilupakan walau menyakitkan.”
Kubalikkan halaman demi halaman. Hingga akhirnya tanganku berhenti di salah satu halaman. Kubaca dengan seksama, di halaman ini kutulis ribuan perasaanku. Kisah cinta bersamanya, bersama dia yang mungkin kini sudah melupakanku. Entahlah, tapi kuyakin dia mungkin sudah tak mengingatku lagi. Kurasakan perlahan tapi pasti, saat ini rindu meresapi hatiku. Rindu untuk mengetahui kabarnya. Betapa tidak, sudah lama aku tidak berkomunikasi dengannya. Bahkan untuk saling bertanya kabar pun sudah tak pernah kami lakukan. Semenjak dia memutuskanku dan memilih berpacaran dengan cewek lain, dia tak pernah menghubungiku lagi. Hanya saja terkadang aku bertanya kabar lebih dulu. Dia tak pernah menyanyakan kabarku atau apapun jika tak kuawali. Dan semenjak itu hubungan kami terasa semakin jauh. Tiba-tiba kurasakan kembali memori ini seakan mengajakku untuk mengingat masa itu.

Tidak ada komentar: