Derai
tawa bergemuruh menggema di antara rerimbunan rumput liar yang tampak subur.
Sepi tak berarti bahwa tiada kebahagiaan disana. Bersamamu, semua terasa
menyenangkan. Taukah kamu, dalam angganku saat ini, tempat ini akan mempunyai
banyak arti untukku, bersamamu.
Kutatap
lekat dirimu yang masih menatap lurus kearah rerimbunan rumput kecil. Helaan
nafasmu masih terdengar jelas ditelingaku. Aku tersenyum simpul saat melihatmu
beberapa kali menggosokkan kedua tangan untuk menghilangkan dingin yang
menyergap. Tampaklah lapangan ini sangat sepi, tiada penggembala.
Tak
terasa sudah 2 jam kita disini. Lukisan awan di atas langit itu seperti potret
keceriaan. Keceriaan hatiku saat ini. Aku masih bercerita panjang lebar, dengan
balasan tawa renyah darimu. Rasa-rasanya suaraku habis, entah sudah berapa ribu
cerita yang kudengarkan untukmu.
“Aku emang punya banyak sodara dari mama. Tapi aku gak
kenal mereka” dengungku
sepintas lalu
“Kok gitu”
tampak keheranan terlukis jelas di dahimu
“Iyalah, khan kebanyakan ada di Jakarta sama
di Bandung, sedangkan aku gak pernah kesana. Dulu sih pernah tapi sekarang udah
enggak. Apalagi pas nini’ uda gak ada. Komunikasi jadi putus” sahutku
panjang lebar sambil membalas tatapanmu
“Oh, aku juga ada sih sodara di Jakarta. Biasanya aku
kesana kalo lagi liburan”
“Cerita dong masa-masa SD mu gimana. Aku daritadi udah
cerita. Sekarang gantian dong”
“Emmm, apa ya?”
“Terserah.”
Di
antara cerita-cerita panjang itu, kuselangi dengan cubitan kecil yang mendarat
sukses dipahanya. Latif, seorang yang saat ini duduk bersamaku disini, seorang
yang sangat aku sayang dan bahkan aku tak mengetahui sampai kapan harus
kusembunyikan rasa cinta yang masih melekat dihatiku.
Sepintas
lalu kupinjam handphonenya. Kubuka gallery miliknya. Tampak foto dia bersama
adiknya, Nesya. Lucu, aku tersenyum melihatnya.
Kutatap dia dengan seluruh perasaan
yang ada dihatiku. Tanpa kusadari ternyata dia membalas tatapan mataku. Letak
dudukku memang tak begitu jauh darinya. Dan bahkan kalaupun ingin kusandarkan
kepalaku dibahunya, itu bisa saja kulakukan. Tapi rasa-rasanya perlu berulang
kali pemikiran untuk kulakukan.
“Disini ada bangunan kuno jaman Belanda lho, disebelah
utara”
“Mau dong kapan-kapan di ajak kesana”
“Iya kapan-kapan pasti kuajak” jawabnya dengan pasti
Aku tersenyum riang, kulihat wajah
itu sekali lagi. Wajah yang membuat hatiku selalu teduh.
*Flashback*
“Sepertinya kamar ini butuh tata ulang deh,
sudah banyak barang yang harus kusisihkan”
gumamku melihat ke sekeliling kamar. Rasanya sudah bosan melihat banyak
tumpukan buku disudut ruang.
“Dina cepat ke ruang makan sayang,
cepetan. Udah ditunggu ini” mama memanggilku dari luar. Bergegas aku
meninggalkan kamarku. Kupercepat langkahku menuruni anak tangga. Sampai di
ruang makan, kulihat mama, ayah dan kakakku sudah menungguku sendari tadi.
“Lama
banget sih kamu, ngapain aja dikamar? Udah laper nih”
omel kakakku
Kak Nura, kakakku satu-satunya ini memang
cerewet sekali padaku. Setiap hal kecil akan selalu dikomentarinya. Walaupun
begitu, kutau dia sangat menyayangiku. Dibuktikan dengan ketelatenannya
menjagaku saat mama dan ayah diluar kota.
“Iya
kak, bawel banget sih. Selamat makan” kulukis wajah
ceria
“Din, apa rencanamu untuk
mengisi liburan semester nanti?” ayah bertanya sambil
menyuap nasi
“Aku
pengen ke Malang aja yah. Kerumah tante Anisa”
“Oh,
selain itu ada lagi?”
Aku heran. Tidak seperti biasanya
ayah bertanya tentang rencana liburanku jauh-jauh hari. “Enggak
yah, Cuma itu. Kenapa ya yah?” aku penasaran sekali
“Ayahmu
ingin mengkursuskan kamu bahasa inggris. Itu lho sayang. Di kampung inggris”
Kutengok mama dengan wajah heran. “Apa? Kursus di kampung inggris?”
“Iya
sayang, disana kamu bisa belajar banyak”
“Yang
di Pare itu ya ma? Aku kesana sama siapa? Sendirian gitu? Gak mau ah ma” kutolak
rencana untuk kursus itu
“Sama
kak Nura.
Kak Nura akan
kursus disana sementara waktu. Kamu ingat kan, sebentar lagi kak Nura akan melamar kerja.”
Aku menyengitkan dahi, “terus kenapa aku harus ikut juga yah? Gak
mau ah”
Tetap kutolak rencana kursus ke
Pare.
“Sayang, disana kamu bisa menimba ilmu. Bareng kakakmu. Kamu inget kan satu tahun lagi kamu akan masuk Universitas. Kamu jangan malu-maluin ayah gara-gara gak fasih bahasa inggris” nada ayahku mulai naik dua oktaf
“Sayang, disana kamu bisa menimba ilmu. Bareng kakakmu. Kamu inget kan satu tahun lagi kamu akan masuk Universitas. Kamu jangan malu-maluin ayah gara-gara gak fasih bahasa inggris” nada ayahku mulai naik dua oktaf
“Tapi
yah...” belum sempat aku meneruskan
penolakanku, mama sudah memotong ucapanku. “Sudahlah Dina. Coba saja dulu. Toh itu juga bukan hal yang merugikan”
Aku sudah kehabisan kata-kata untuk
menolak. Dan akhirnya akupun menyerah. Dapat dipastikan setelah pulang dari
rumah tante Anisa, aku akan menghabiskan liburanku di Pare. Ditempat yang belum
pernah kudatangi.
***
***
Sore ini aku
disibukkan dengan menata ulang kamar. Aku ingin mengubah tata letak kamarku. Tiba-tiba mataku tertegun
melihat tumpukan buku harian, aku tertarik untuk membaca salah satu dari buku
harian lama itu.
Aku memilih untuk mengambil buku biru dengan relief boneka teddy. Kuletakkan buku itu
di atas ranjang. Sambil membereskan barang-barang lainnya sekilas mataku
melirik buku biru itu. Setelah pekerjaan rampung, buru-buru aku mandi. Rasanya
badanku sudah lengket dengan keringat.
Seusai makan
malam, aku lebih memilih untuk berada di kamar. Kamar yang sudah kuubah
penampilannya ini terasa lebih funny. Kuedarkan pandanganku keseluruh ruangan.
Aku tersenyum puas, semua sudah tampak rapi. Kulihat disampingku, tergeletak
buku harian yang kusisihkan sore tadi. Sambil menata letak dudukku agar nyaman,
kubuka perlahan buku usang ini. Buku yang dulu selalu setia menjadi tempat
curahan hatiku. Aku tersenyum simpul saat membaca halaman pertama. Tampak
sebuah kalimat motivasi terangkai.
“Hidup ini menyenangkan. Dengan mensyukuri segala pemberian-Nya. Hidup ini
harus penuh syukur. Sungguh, kelak kubutuh mengingat semua cerita ini. Dan karenanya
aku berjanji akan selalu kutulis semua kejadian dalam perjalanan hidupku.
Memori itu indah, memori itu menyenangkan dan tak harus dilupakan walau
menyakitkan.”
Kubalikkan
halaman demi halaman. Hingga akhirnya tanganku berhenti di salah satu halaman.
Kubaca dengan seksama, di halaman ini kutulis ribuan perasaanku. Kisah cinta
bersamanya, bersama dia yang mungkin kini sudah melupakanku. Entahlah, tapi
kuyakin dia mungkin sudah tak mengingatku lagi. Kurasakan perlahan tapi pasti,
saat ini rindu meresapi hatiku. Rindu untuk mengetahui kabarnya. Betapa tidak,
sudah lama aku tidak
berkomunikasi dengannya. Bahkan untuk saling bertanya kabar pun sudah tak
pernah kami lakukan. Semenjak dia memutuskanku dan memilih berpacaran dengan
cewek lain, dia tak pernah menghubungiku lagi. Hanya saja terkadang aku bertanya kabar lebih dulu.
Dia tak pernah menyanyakan kabarku atau apapun jika tak kuawali.
Dan semenjak itu hubungan kami terasa semakin jauh. Tiba-tiba kurasakan kembali
memori ini seakan mengajakku untuk mengingat masa itu.